banner gunadarma

Jumat, 29 April 2011

Analisis Kebijiakan Pembangunan Indonesia, Pembangunan Nasional, Pembangunan Sektoral dengan Kebijakan Hutang Luar Ngeri

Nama   : Yanita Utami
NPM   :  28210595

Kaitan Kebijakan Pembangunan Indonesia, Pembangunan Nasional, Pembangunan Daerah dengan Kebijakan Hutang Luar Negeri

Pembangunan hakikatnya adalah upaya mewujudkan tujuan nasional bangsa Indonesia yang maju, mandiri, sejahtera, berkeadilan, berdasarkan iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Sesuai tujuan yang tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa hakikat pembangunan nasional adalah: mencerdaskan kehidupan bangsa, menciptakan kesejahteraan umum, melindungi seluruh tumpah darah Indonesia, dan membantu melaksanakan ketertiban dunia dan perdamaian abadi.

Pembangunan merupakan proses perubahan struktur yang berlangsung secara alami. Pembangunan sendiri baru ada jika ciri-ciri utama pembangunan dapat tercapai, yaitu: terwujudnya kemajuan, kemandirian, dan kesejahteraan dalam suasana yang berkeadilan, dapat tercapai

Pembangunan Nasional:
Usaha untuk meningkatkan kualitas dan perikehidupan manusia dan masyarakat indonesia yang dilakukan secara terus menerus, berlandaskan kemampuan nasional dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperhatikan tantangan perkembangan global.

Pembangunan Daerah:
Usaha untuk meningkatkan kualitas dan perikehidupan manusia dan masyarakat indonesia yang dilakukan secara terus menerus, berlandaskan kemampuan nasional dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperhatikan tantangan perkembangan keadaan daerah, nasional dan global.

Sebagai suatu bangsa yang mengikatkan diri dalam bentuk negara kesatuan Republik Indonesia, maka tujuan nasional perlu diwujudkan oleh seluruh lapisan bangsa tanpa kecuali. Pemerintah sebagai penyelenggara negara adalah penggerak (fasilitator dan dinamisator) perwujudan tujuan nasional itu. Dalam penyelenggaraan pembangunan, pemerintah bertindak mewakili kepentingan seluruh lapisan bangsa. Pembangunan dilaksanakan sendiri oleh masyarakat terdiri dari: tingkat mikro individu atau pribadi rakyat; tingkat agregat-nasional dimulai di tingkat kelompok masyarakat, desa-kalurahan, kecamatan, kabupaten-kota, propinsi sampai nasional, dan tingkat global-internasional pembangunan antarnegara bangsa.

Seperti yang kita ketahui, Indonesia merupakan Negara berkembang. Kehidupan pertumbuhan  ekonomi Negara berkembang pun tidak luput dari masalah-masalah dalam hal pembangunan Negara tersebut. Dikarenakan  kemampuan Negara berkembang tersebut memliki keterbatasan dalam proses pembangunan yang sedang dilakukan.

Begitupula hal tersebut berkaitan dengan pembangunan Indonesia baik dalam pembangunan nasional dan sektoral (daerah) nya. Dalam pembangunan Indonesia baik dalam pembangunan nasional dan daerah, pasti nya dibutuhkan dana untuk membiayai kebutuhan pembangunan dalam sector nasional maupun daerah.
Dana tersebut bisa berasal dari dana alokasi dari pemerintah pusat atau pembiayaan pembangunan sendiri oleh pemerintah daerah.

Oleh karena itu diperlukan kebijakan-kebijakan dalam pembangunan nasional dan daerah. Contoh, seperti Kebijakan Desentralisasi dan Kebijakan Otonomi Daerah, dimana kebijakan tersebut memberikan peluang bagi pemerintah daerah di Indonesia untuk melaksanakan serta membiayai  sendiri kemajuan pembangunan di daerahnya masing-masing. Untuk perlu diketahui, kebijakan ini diperlakukan sejak tahun anggaran 2000.

Sesuai dengan hasil penelitian dan evaluasi terhadap pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Pembelanjaan Daerah (APBD) tahun 2001 dan 2002, hanya beberapa daerah yang tergolong kaya yang mampu membiayai sendiri proyek-proyek pembangunannya seperti Provinsi Riau, Provinsi Bengkalis, Provinsi Sulawesi Selatan serta Provinsi Kalimantan Selatan.

Secara umum daerah-daerah lainnya antara lain Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Provinsi Bengkulu masih sangat tergantung pada kucuran dana alokasi umum dari pemerintah pusat. Pada sisi lain, APBD daerah-daerah itu sebagian besar yaitu sekitar 60 persen sampai 80 persen habis untuk membayar gaji pegawai daerah. Sementara itu untuk membiayai pembangunan sarana dan prasarana perekonomian yang dapat menghasilkan penerimaan berdasarkan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999, pemerintah daerah diperkenankan mendapatkan sumber pembiayaan yang berasal dari pinjaman dalam negeri atau pinjaman luar negeri.

Dari contoh kasus diatas, dapat kita lihat bahwa dalam menentukan kebijakan tentang pembangunan daerah, hal tersebut memiliki hubungan dengan kebijakan hutang luar negeri. Dimana pemerintah daerah dalam memenuhi atau mendapatkan dana guna untuk pembangunan daerah, memiliki alternative lain, selain dari pemungutan pajak atau dari Sumber Daya dari pemerintah daerah tersebut. Alternative lain itu yaitu peminjaman dana dalam negeri atau luar negeri.

Tentunya, sebagai prinsip pemanfaatan dana yang berasal dari hutang, salah satunya adalah, dana yang diperoleh dari hutang agara dimanfaatkan untuk membiayai investasi pada usaha yang produktif, misalnya membangung pabrik pengolahan minyak sawit, pabrik gula, atau tapioca dsb. Yaitu investasi modal pada sector yang produktif, memberikan nilai tambah terhadap output yang dihasilkan, dan yang penting bagi daerah yaitu membuka lapangan pekerjaan bagi penduduk local.
Dengan begitu, bisa dipastikan walaupun lama, peminjaman modal dari luar negeri tersebut atau hutang kepada pihak luar negeri tersebut bisa di lunasi dengan pembangunan-pembangunan yang dilakukan dari asal dana yang dipinjam ke luar negeri tersebut.

Terdapat banyak kebijakan-kebijakan lain dalam meminjam dana dari pihak luar negeri dalam menentukan kebijakan-kebijakan yang diambil guna membangun pembangunan daerah dan nasional.

Keterbatasan sumber pembiayaan dalam negeri yang berasal dari pemerintah pusat, dihadapkan pada semakin meningkatnya kebutuhan pembiayaan pembangunan daerah. Memberikan peluangbagi pemerintah daerah untuk mencari alterfnatif sumber-sumber untuk memperoleh hutang kangka panjang dari luar negeri.
Hal tersebut juga berlaku pada pembangunan yang bersifat nasional. Karna diketahui pembiayaan pembangunan untuk negeri yang sedang berkembang itu tidaklah sedikit, maka selain mendapat dana dari pajak masyarakat atau sumber daya lain, terdapat pula alternative untuk mendapatkan dana pembiayaan pembangunan nasional tersebut. Yaitu peminjaman ke pihak swasta dan juga salah satu nya peminjaman ke pihak luar negeri.

Peminjaman dana dari pihak luar negeri tersebut tentu nya untuk melakukan pembangunan, baik dalam sector ekonomi atau yang lainnya. Diharapkan dari peminjaman dari pihak luar negeri (hutang luar negeri), dapat dilakukan pembangunan yang menghasilkan masukan-masukan kas ke pemerintah guna untuk membayar kembali atau melunaskan hutang luar negeri tersebut.

Perlu kita perhatikan, dalam meminjam dana dari pihak luar negeri diperlukan kebijakan yang harus diambil agar Negara dapat menefisiensi kan dana yang di pinjam dengan dana yang harus dikeluarkan, agar hutang luar negeri nantinya tidak memberatkan Negara.

Jadi, dilihat secara garis besar dalam melakukan kebijakan-kebijakan pembangunan Indonesia baik kebijakan pembangunan nasional maupun kebijkan pembangunan daerah kaitannya erat sekali dengan kebijakan hutang luar negeri.


TAMBAHAN

PANDANGAN TENTANG PINJAMAN LUAR NEGERI DAERAH

1. Dengan semangat otonomi daerah dan desentralisasi dalam UU No. 22 dan 25 tahun 2000,
pemerintah daerah memiliki kewenangan sepenuhnya atas manajemen keuangan daerah (APBD)
termasuk dalam upayanya mencari sumber-sumber pembiayaan, baik pendapatan asli maupun
pinjaman daerah, serta pemanfaatan APBDnya.

2. Berkaitan dengan penentuan sumber pembiayaan dari pinjaman (termasuk pinjaman luar negeri), maka pemerintah daerah hendaknya diberi kewenangan memilih sumber-sumber pinjaman daerah, apakah pinjaman dari pemerintah pusat, lembaga keuangan, atapun masyarakat. Ini semua memerlukan pengaturan yang lebih terperinci yang menjelaskan mekanisme peminjaman yang berbeda-beda untuk masing-masing sumber pinjaman. Saat ini mekanismenya belum ada. Mekanisme penerimaan pinjaman daerah harus mencerminkan kewenangan Daerah yang lebih besar dalam melakukan pinjaman. Dengan kata lain pemerintah daerah dapat membuat perjanjian pinjaman dengan pemberi pinjaman. Namun dikaitkan dengan kewenangan pemerintah pusat, maka perjanjian pinjaman luar negeri dilakukan oleh pemerintah pusat setelah mendapat kuasa dari Daerah (Menteri Luar Negeri atau Menteri Keuangan).

3. Di samping itu, sebenarnya terdapat sumber pembiayaan selain pinjaman luar negeri yaitu pinjaman dari pemerintah daerah lainnya, mengingat besarnya kemungkinan adanya proyek yang secara fungsional meliputi beberapa daerah dengan kemampuan keuangan yang berbeda-beda sehingga daerah yang lebih mampu dapat memberi pinjaman kepada daerah yang kurang mampu.

4. Berkaitan dengan aspek pemanfaatan Pinjaman Daerah, maka pinjaman daerah perlu dipandang sebagai salah satu sumber pembiayaan daerah yang dapat dikembangkan pemanfaatannya dengan seluas-luasnya sepanjang dalam batas-batas yang dapat dipertanggung jawabkan. Dengan kata lain, memilih pinjaman sebagai sumber pembiayaan dimaksudkan untuk memperoleh manfaat dari suatu potensi daerah yang jauh lebih besar daripada bila tanpa dibiayai dengan pinjaman.

5. Berkaitan dengan penentuan jumlah pinjaman yang dimungkinkan oleh suatu daerah, agar daerah dapat berkembang, maka besarnya jumlah pinjaman yang diperlukan maupun diperbolehkan dipinjam untuk mengembangkan suatu potensi daerah melalui kegiatan tertentu ditentukan oleh potensi manfaat (opportunity benefit) yang dapat diperoleh dari suatu kegiatan. Bila jumlah pinjaman dikaitkan dengan ukuran-ukuran seperti besarnya alokasi umum, PAD di masa lalu ataupun ukuran-ukuran di masa lalu, maka sama saja dengan daerah tidak dimungkinkan memperoleh pinjaman. Jadi walaupun penerimaan daerah pada tahun sebelumnya kecil tetapi dengan potensi sumber dayanya maupun potensi manfaat yang bisa diperolehnya maka daerah seharusnya dimungkinkan untuk melakukan peminjaman yang jumlahnya tidak terkait dengan penerimaan sebelumnya dalam rangka mengembangkan potensi tersebut. Besarnya jumlah pinjaman lebih baik dikaitkan dengan nilai proyek yang dimungkinkan dan dibutuhkan serta potensi proyek tersebut secara luas mengembalikan pinjaman.

6. Pinjaman harus dimungkinkan dimanfaatkan untuk membiayai berbagai macam investasi public sehingga tidak relevan dibatasi hanya untuk investasi yang menghasilkan penerimaan langsung guna pengembalian pinjaman. Hal ini mengingat kebutuhan masing-masing daerah dalam rangka 5 memacu pembangunannya membutuhkan investasi yang berbeda-beda. Artinya kegiatan-kegiatan yang bermanfaaat langsung kepada pelayanan masyarakat dan memacu pembangunan namun tidak dapat memberikan penerimaan langsung kepada daerah tetap perlu dimungkinkan  apat dibiayai dari pinjaman.

7. Dalam kaitannya dengan ekonomi makro, pemerintah pusat hanya perlu mengembangkan monitoring policy bukan kebijakan yang bersifat pengendalian langsung atas pinjaman daerah terhadap efek negatif meningkatnya pinjaman daerah maupun efek menjalar yang disebabkan oleh kegagalan daerah membayar kembali pinjamannya.

8. Implikasi dari pemikiran di atas, pemerintah daerah harus dimungkinkan untuk melakukan perjanjian yang bersifat penjaminan dalam rangka pinjaman daerah sebagai konsekuensi dari kewenangan untuk mengadakan perjanjian pinjaman.

9. Yang penting, sifat penjaminannya perlu dibedakan antara proyek-proyek yang merupakan investasi, yang asetnya dapat dijaminkan, dengan proyek-proyek yang outputnya nontangible atau
proyek-proyek non fisik yang tidak dapat dijaminkan. Sepanjang proyek tersebut dapat dijaminkan
maka jaminannya dapat dibatasi hanya pada proyek itu sendiri. Penjaminan yang menjaminkan aset-aset di luar proyek perlu diatur.
10. Persetujuan DPRD harus sederhana tanpa mengurangi fungsi pengawasan lembaga legislatif di daerah. DPRD menentukan pagu total pinjaman dalam masa bakti kepala daerah tersebut serta arah kebijakan penggunaannya. Pemerintah daerah mengisi pagu pinjaman dengan proyek-proyek yang evaluasi kelayakan proyek dan proses penyiapannya dilakukan oleh pemerintah daerah. Proyek yang layak kemudian dapat diusulkan kepada pemerintah pusat untuk memanfaatkan pagu
pinjaman luar negeri nasional.
11. Di samping itu semua, dibutuhkan mekanisme yang lebih jelas bila pemerintah daerah tidak mampu membayar kembali pinjamannya.


Sumber :
dan dari berbagai sumber .