Nama : Yanita Utami
Kelas : 1EB15
NPM : 28210595
Globalisasi Ekonomi dan Trend Investasi : Aspek Pendanaan Usaha
A. Pengertian Globalisasi Ekonomi
Apakah yang dimaksud dengan Globalisasi Ekonomi ? Pertanyaan tersebut kian mendominasi setiap pembicaraan publik di Indonesia. Globalisasi Ekonomi adalah berlangsungnya gerak arus barang, jasa dan uang di dunia secara dinamis, sesuai dengan prinsip ekonomi, dimana berbagai hambatan terhadap arus tersebut menjadi semakin berkurang. Hambatan berupa protoksionisme perdagangan, larangan investasi, dan regulasi devisa dan moneter yang mengekang arus jasa dan kapital internasional semakin lama menjadi semakin berkurang bila globalisasi ekonomi berlangsung.
Globalisasi ekonomi juga dapat di definisikan sebagai mendunianya kegiatan dan keterkaitan perekonomian. Transanasionalisasi kegiatan perekonomian ini bukan lagi hanya terbatas pada aspek perdagangan dan keuangan, tapi meluas ke aspek produksi dan pemasaran, bahkan sumber daya manusia.
Globalisasi menggiring perusahaan raksasa yang semula multinasional menjadi transnasional. Mereka beroperasi menembus batas-batas negara, bahkan memudarkannya. Ini menyebabkan meningkatnya peredaran uang dan modal secara global, pesatnya ahli-teknologi, cepatnya distribusi hasil-hasil produksi (khususnya produk-produk industrial), munculnya aliansi strategis antar perusahaan sejenis, serta bermunculannya produk-produk berstandar global (dalam arti bisa diproduksi dan dipasarkan di mana saja). Semua ini mengakibatkan bisnis dan perdagangan (pada khususnya) serta perekonomian (pada umumnya) manjadi kian kompetitif.
Dalam situasi sekarang, keunggulan bisnis dan perekonomian bukan lagi berdasarkan pada strategi keunggulan komparatif (comparative advantage) melainkan strategi keunggulan kompetitif (competitive advantage).
Perusahaan-perusahaan transnasional melebarkan sayap ke berbagai negara bukan lagi untuk mengejar "economies of scale" (mengejar keuntungan sebesar-besarnya berdasarkan pertimbangan skala usaha), tapi memburu "economies of scope" (merebut pangsa pasar seluas-luasnya berdasarkan pertimbangan cakupan area).
Globalisasi mengubah struktur perkeonomian dunia secara fundamental. Interdependensi (salingketergantungan) perekonomian antar negara semakin erat. Bukan hanya berlangsung antar negara maju saja, tetapi berlangsung juga antar negara maju dan berkembang juga. Begitu pula Indonesia yang jelas akan terpengaruhi oleh Interdependensi juga.
Globalisasi arus barang-uang-orang menyebabkan negara-negara di dunia semakin terjalin dan saling tergantung atau membutuhkan. Pada saat yang sama, supaya tidak tertelan arus globalisasi, tiap-tiap negara perlu memiliki keunggulan kompetitif.
Sementara arus globalisasi kian gencar, negara-negara di berbagai belahan bumi justru mengelompok secara ekslusif berbagai preferensi di antara sesama mereka., sehingga menimbulkan rintangan (barrier) bagi negara-negara lain untuk berniaga dengan mereka.
Tantangan pembangunan ekonomi yang kita hadapi sekarang bukan lagi sekadar masalah efisiensi produksi dan peningkatan eksport nonmigas, melainkan jauh lebih penting lagi adalah pengembangan sumberdaya manusia dan pemajuan teknologi.
Globalisasi Ekonomi juga merupakan pertarungan pengembangan market share dari setiap unit usaha pada skala dunia. Dari sini pendapat Drucker bahwa yang diincar bukan profit maximization, tapi market maximization tampaknya juga mempunyai dasar. Tetapi, dengan mengatakan demikian kita jangan terjebak untuk bergiat merambah pasar-pasar baru tanpa mengukur berdasarkan kaidah-kaidah ekonomi seperti perhitungan return on investmen dan internal rate of return atau pun berbagai metoda yang digunakan dalam situasi kelayakan sebuah investasi.
Dalam dekade yang akan datang, pergerakan modal, tenaga terampil, pengetahuan dan badan usaha (firm) akan menjadi lebih mobile di antara negara, benua dan kebudayaan. Telah terjadi kenaikan jumlah pemilik aset keuangan dan fisik, makin banyak tenaga terampil dan penguasaan teknologi yang makin menyebar di banyak negara tidak hanya terpusat di negara tertentu, sperti yang terjadi dalam dekade sebelumnya.
Jika dala tahun 1980-an, perdagangan dunia dan investasi langsung hampir terpusat di AS, Jepang, dan negara Eropa Barat, maka dalam dekade 1990-an mobilitas faktor produksi dan perdagangan dunia diperkirakan akan menyebar ke lebih banyak lokasi/negara di dunia. Proses makin tingginya mobilitas faktor produksi mengakibatkan terjadinya globalisasi ekonomi dunia, di mana kegiatan produksi antarnegara makin erat terkait satu sama lainnya.
Ekonomi makro amat sangat diperlukan bagi pemahaman kita tentang prospek bisnis dan investasi, tentunya merupakan hal yang tak perlu dipertanyakan. Yang menjadi soal kini adalah menginterprestasikan satu data makro yang secara tepat sehingga peluang bisnis tampak dalam sosok yang jelas.
Beberapa hal yang dapat ditelaah adalah sebagai berikut :
1. Kondisi eksternal ekonomi Indonesia hingga jangka menengah mendatang tampaknya tidak akan mengalami fase kritis kendati bukan pula merupakan kondisi yang comfortable.
2. Utang luar negeri kita akan merupakan masalah yang serius yang akan bersama kita hingga jangka menengah. Sementara itu kebutuhan akan utang baru juga tampak tak terelakkan hingga jangka menengah nanti.
3. Arus pemasukan modal dari luar negeri, baik dalam bentuk pinjaman swasta maupun investasi luar negeri langsung (foreign diect investmen) masih cenderung positif dalam perbandingan dengan arus pembayawan cicilan utang dan defisit neraca transaksi berjalan.
Bagi kalangan bisnis masih terbentang jarak yang cukup jauh antara telaah di atas dengan upaya membuka peluang dasar dan investasi baru, atau pun untuk meningkatkan daya saing dari kegiatan yang telah dilaksanakan.
Persoalan penting bagi Indonesia jadinya adalah bagaimana kita bisa melenyapkan distorsi dalam perdagangan dalam negeri dan restriksi ekspor dan impor yang tetap masih berlangsung hingga kini.
B. Tinjuan Umum
Ada kecenderungan kian lama prediksi-prediksi ekonomi dunia kian jauh dari realisasinya. Sekalipun banyak pengamat yang menduga bahwa nilai Yen akan terus menguat terhadap dollar Amerika Serikat nenuju ambang psikologis, yakni 100 Yen untuk satu dollar Amerika Serikat, namun tidak banyak yang menduga bahwa prosesnya bisa terjadi begitu cepat. Semakin sedikit lagi ekonom yang memasukkan Yendaka itu dalam model ekonometrinya.
Kita harus peduli terhadap Yendaka. Indonesia jelas terkena dampak langsung nya mengingat sekitar 40 % dari total utang pemerintah dalam denominasi Yen sehingga beban utang (pembayaran cicilan pokok dan bunga pinjaman internasional) akan langsung membengkak begitu Yendaka terjadi. Pada tahun 1986, total stok utang Indonesia bertambah lebih dari US$2,1 miliar gara-gara Yendaka; sedangkan pada tahun 1993 kemarin pertambahannya mendekati US$ 1 miliar.
Penguatan nilai Yen juga akan merangsang PMA dari Jepang dan impor mereka. Kalau PMA Jepang yang akan masuk ke Indonesia malah merosot, maka ini merupakan salah satu indikasi bahwa daya saing kita melemah dalam menyedot investasi asing. Kalau impor Jepang dari Indonesia tidak mengalami peningkatan, padahal Yendaka terus terjadi, maka ini merupakan sinyal yang jelas bahwa ada sesuatu yang kurang beres dengan daya saing produk-produk ekspor kita.
Lantas bagaimana kita menjelaskan terus meningkatkan surplus perdagangan Jepang sekalipun ia mengalami Yendaka ? Amerika Serikat sendiri memang menginginkan nilai Yen terus menguat agar ekspornya ke Jepang bisa meningkat dan impornya dari Jepang menurun. Namun ternyata defisit perdagangan Amerika Serikat dengan Jepang malah terus membesar. Kalaupun surplus perdagangan barang total Jepang sedikit menurun, tidak demikian halnya dengan transaksi lancar. Ini terjadi karena penurunan surplus perdagangan barang diimbangi dengan terus meningkatnya surplus perdagangan jasa, khususnya jasa-jasa faktor. PMA Jepang yang telah merambahj di seantero dunia semakin deras mengalirkan keuntungan dan bunga modal ke negara asalnya.
Ilustrasi diatas hanya sekedar contoh dari dinamika dunia yang semakin pelik, yang tidak cukup dijelaskan hanya dengan perangkat-perangkat analisis ekonomi. Di tengah-tengah lingkungan internasional seperti ini, setiap negara semakin dituntut untuk terus membenahi perekonomian masing-masing agar tidak terseret arus dan menjadi korban.
C. Perkembangan Output dan Perdagangan Dunia
Perekonomian Indonesia masih saja diselubungi oleh bayangan pesimisme. Pemulihan (recovery) di Negara-negara industri maju, yang diharapkan bakal terjadi secara cukup berarti, belum juga menampakkan sosoknya yang lebih jelas dan konsisten. Optimisme International Monetary Fund tahun 1993 ternyata berlebihan. IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi Negara-negara industri maju pada tahun 1993 akan mencapai 1,7 persen. Namun ternyata perkiraan yang sudah dianggap sedang-sedang saja ini dikoreksi kembali menjadi hanya 1,1 persen. Terlalu banyak faktor yang mempengaruhi, dan para ekonom harus lebih tekun memahami fenomena-fenomena perubahan didunia belakangan ini.
Pesimisme mengenai pertumbuhan di Negara-negara industri bersumber dari tetap atau semakin melemahnya pertumbuhan ekonomi di Negara-negara Eropa Barat, terutama Jerman, Perancis dan Italia. Perkiraan pertumbuhan ekonomi yang negative di Jepang, semakin memperparah kinerja perekonomian Negara-negara industri secara keseluruhan.
Kemerosotan ekonomi di Jerman beriringan dengan inflasi yang relative tinggi dan peningkatan defisit transaksi lancar (current account). Inflasi juga terjadi di Italia dan Inggris. Sementara di Jepang, inflasi bahkan menurun hingga ke titik yang sangat rendah, bahkan terendah di antara Negara-negara industri. Bertolak dari ciri perkembangan ini cukup beralasan bagi pemerintah Jepang untuk menggairahkan kembali perekonomian domestic dengan memperlonggar kebijakan fiskalnya. Selain itu, surplus transaksi lancar Jepang terus melonjak, dari US$1178 miliar pada tahun1992 menjadi US$137 miliar untuk tahun 1993. Kenyataan inilah yang tampaknya melandasi kegarangan Fred Bergsten dalam ceramahnya baru-baru ini di Jakarta yang “menuduh” Jepang telah mengekspor pengangguran kemana-mana.
Di tengah perlambatan aktivitas ekonomi di suatu Negara industri yang menghasilkan tiga perempat output dunia ini, kinerja ekonomi seperti Negara berkembang semakin cemerlang. KInerja ekonomi Negara-negara yang sedang berkembang (NSB) tampaknya semakin kurang bergantung kepada negara industri. Kecenderungan ini antara lain disebabkan oleh dinamisme di kawasan-kawasan tertentu, sehingga bisa mengkompensasikan sebagian penurunan intensitas perdagangan dengan Negara-negara industri.
Salah satu hal yang agaknya bisa menjelaskan ekspansi perekonomian Negara-negara berkembang diatas adalah seluruh Negara berkembang di semua kawasan telah melakukan pembaruan dalam perekonomian domestic mereka. Restrukturisasi, reformasi, proses penyesuaian (adjustment), deregulasi, dan privatisaisi merupakan konsep berkembang. Artinya, proses marketisasi telah terjadi di mana-mana, memerangi berbagai bentuk piuh yang mengganggu mekanisme pasar bebas.
D.Perubahan Struktur dan Ketimpangan Arus Finansial
Sudah jelas bahwan kebutuhan mendasar NSB adalah aliran dana luar negeri. Lebih dari itu, Negara-negara terbelakang sangat membutuhkan bantuan keungan dengan syarat-syarat yang sangat lunak. Tanpa aliran dana sejenis ini agalnya sulit untuk membayangkan prospek ekonomi yang lebih cerah terjadi di Negara-negara terbelakang.
Ironisnya, justru pergerakan financial dunia yang terbersar terjadi di antara Negara maju. Dan lagi, dalam beberapa tahun terakhir ini terjadi aliran dana keluar dari NSB ke Negara maju akibat beban utang yang kian meningkat ditambah dengan pelarian modal dari NSB.
Negara-negara berkembang yang tersisih dari arus lalu lintas keuangan internasional, khususnya yang berasal dari sumber-sumber keuangan swasta, ternyata hanya sedikit. Penyebabnya adalah hampir semuanya adalah Negara berkembang di kawasan Afrika. Administrasi pemerintahan dan system politik yang masih rapuh, keterbatasan sumber daya manusia dan masih begitu lemahnya basis ekonomi. Negara-negara yang berkembang yang dinamis, yang telah menemukan pembaruan ekonominya secara progresif, justru semakin diincar sebagai pilihan lokasi investasi yang menjanjikan rate of return yang lebih menarik apabila di bandingkan dengan yang ada di Negara-negara maju yang menjadi asal dari modal itu.
Selain itu, era pasca perang dingin telah menggiring semua Negara untuk lebih serius membangun perekonomiannya di tengah-tengah arus globalisasi yang semakin deras. Munculnya pelaku-pelaku pasar aktif sebanyak tidak kurang dari 1,5 miliar manusia yang turut meramaikan derap langkah ke satu titik focus.
Perkembangan di ataslah yang menguakkan peluang-peluang baru di Negara-negara berkembang. Bank-bank komersial sebagai sumber pasokan dana utama kian berhati-hati, karena tidak lagi mau mengulang petaka yang nyaris memporakporandakan system keuangan internasional akibat krisis utang global di awal tahun 1980-an.
Sementara itu telah terjadi perubahan struktur atas permodalan jangka panjang yang masuk ke Negara-negara sedang berkembang. Jika pada tahun 1981 hampir separuhnya adalah pinjaman dari bank-bank komersial untuk pemerintah, maka pada tahun 1992 porsi dari jenis pembiayaan ini telah menukik tajam hingga hanya 13,6 persen saja. Arus penanaman modal asing langsung misalnya pada tahun 1992 telah mencapai 6,7 persen, padahal 11 tahun sebelumnya hanya 8,3 persen. Demikian pula halnya transfer dana dan obligasi. Dengan demikian, porsi penanaman modal asing, saham dan obligasi, secara keseluruhan telah meliputi hampir sepertiga dari total dana jangka panjang total yang masuk ke Negara-negara sedang berkembang. Perkembangan ini memberikan indikasi yang jelas bahwa peluang bagi pendanaan investasi di Negara-negara berkembang semakin terbuka dan beraneka ragam.
Selama kurun waktu antara tahun 1976 hingga tahun 1990 sumber penanaman modal asing langsung yang berasal dari Negara-negara maju adalah sebesar 57 persen, sedangkan untuk 1990 saja sudah sebesar 62 persen. Sementara itu, penyerap PMA yang terbesar adalah negaranegara maju sendiri, yakni sebesar 81 persen untuk 1976-1990 dan 85 persen untuk tahun 1990 saja. Dengan mudah dapat di perkirakan adanya kecenderungan bahwa arus PMA dari NSB ke Negara-negara maju kian meningkat. Dari hanya sekitar 15 persen PMA langsung yang menuju ke NSB, hampir separuhnya diserap oleh NSB Asia Pasifik dan Negara ASEAN. Sementara yang masuk ke Afrika Cuma 8,7 persen dan ke Asia Selatan hanya 1,4 persen. Jadi, persebaran arus PMA sangat timpang. Negara-negara yang telah berhasil melakukan reformasi ekonomi dan sekaligus yang cukup berhasil membuat perekonomiannya dinamis sajalah yang paling berpeluang menyedot arus PMA.
Karena perubahan pola pembiayaan eksternal yang menempatkan PMA langsung sebagai sumber pembiayaan, maka prospek masuknya PMA ke Negara-negara yang telah menunjukkan perkembangan ekonomi yang sehat secara konsisten, prospeknya semakin cerah. Prospek yang cerah bagi sebagian Negara sedang berkembang ini juga tercermin secara jelas dari peningkatan obligasi dan equity portfolio yang mereka terima.
E. Penguatan Home Front
Bagi Indonesia, sumber-sumber pembiayaan di dalam negeri masih sangat terbatas. Memang tidak realistis jika kita mengharapkan target pertumbuhan tinggi sementara sumber pembiayaannya masih terbatas. Kalaupun potensi pembiayaan di dalam negeri dipandang cukup besar, itu cenderung bersifat semu, yakni hanya terbatas pada puncak-puncak piramida bisnis. Karena sifatnya yang demikian, biasanya sumber pembiayaan ini agak rentan terhadap gejolak ekonomi dan politik. Memang, pada dasarnya kita harus menempatkan modal ini sebagai sesuatu yang tidak memilik kewarganegaraan. Ia bisa terbang ke mana angin berhembus, melewati batas-batas negara. Agak mustahil tentu saja, mengharapkan tingkat mobilisasi tabungan yang relatif tinggi di negara seperti Indonesia yang menurut laporan Susenas 1990, sekitar 67 persen penduduknya hanya mengeluarkan uang kurang dari Rp. 1000 per orang sehari.
Sumber dana dari luar negeri, oleh karena itu, merupakan alternatif yang tak terelakkan. Masalahnya adalah bagaimana menciptakan kondisi makroekonomi yang kondusif serta Lingkungan bisnis yang kompetitif. Selain itu, pengembangan sumber daya manusia serta infrastruktur dalam artian luas juga merupakan necessary condition. Di tengah perkembangan di atas perlu adanya perubahan orientasi dari peran pemerintah, dari aktor dan regulator menjadi supervisor. Ini tidak berarti bahwa peran pemerintah semakin tidak penting. Pada bidang-bidang tertentu keberadaan pemerintah tetap bersifat mutlak, namun dengan semangat untuk mengendalikan agar para aktor tidak bertindak secara liar serta dalam upaya untuk melindungi masyarakat dari praktek-praktek yang tidak “adil”.
Sumber :
- Basri, Faisal. Perekonomian Indonesia Menjelang Abad XII : Distorsi, Peluang dan Kendala. Depok : PT Gelora Aksara Pratama, 1995.
- Dumairy. Perekonomian indonesia. Jakarta : Erlangga.
- Sjahrir. Persoalan Ekonomi Indonesia : Moneter, Perkreditan & Neraca Pembayaran. Jakarta : CV. Muliasari, 1995.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar